Oleh: Agus setiyono (Marbot Masjid Taqwa 3 Kota Jambi)
Coba kita bayangkan sejenak. Ada selembar kertas, dicetak rapi, dihiasi angka-angka yang konon mewakili kecerdasan. Di pojok kanan atas, ada pas foto dengan jas hitam yang entah dipinjam dari studio foto, dan tanda tangan dekan yang bahkan tak kenal siapa pemilik foto itu.
Baca Juga: Hebat Om Amrizal itu, Walau Diduga Pakai Ijazah Palsu, Tetap Melakukan Reses di Dapilnya, Sepi Wooi
Inilah dia: ijazah, Lambang perjuangan? Mungkin. Simbol keberhasilan? Bisa jadi. Tapi juga, sayangnya, bisa menjadi alat tipu muslihat paling elegan abad ini, terutama ketika aslinya palsu
Sekarang, mari kita beri tepuk tangan pelan-pelan untuk mereka yang telah berhasil mencetak masa depan dalam bentuk fotokopi bersegel palsu: para pemilik ijazah palsu. Hebat! Mereka adalah contoh nyata bahwa kreativitas manusia memang tak terbatas. Dari memalsukan tanda tangan rektor, sampai menciptakan kampus fiktif dengan nama-nama yang lebih keren dari universitas sungguhan.
Baca Juga: Polisi Bakal Periksa Saksi Ahli, soal Kasus Amrizal Anggota DPRD Jambi Diduga Catut STTB Milik TNI
Tapi tunggu dulu, sejenak kita harus bertanya:
Apakah selembar ijazah bisa mencetak kemampuan?
Apakah angka-angka di atas kertas bisa menjamin kecerdasan?
Dan yang lebih penting: apakah kepalsuan itu bisa ditutupi selamanya?
Jawabannya: tentu tidak. Karena sepandai-pandainya orang menipu dengan ijazah palsu, dia tak akan pernah bisa menipu dirinya sendiri. Dan lebih dari itu, ia tak akan bisa menipu waktu. Di suatu hari yang tenang—di ruang rapat, di depan klien, di tengah presentasi—ilmu palsu itu akan menunjukkan wajah aslinya. Panik. Bingung. Pura-pura batuk. Tanya ke Google. Lalu nyalain mode darurat: kabur.
Masalahnya bukan hanya pada kebohongan itu sendiri. Tapi pada efek domino yang ia timbulkan. Ketika satu orang naik jabatan berbekal ijazah palsu, orang lain yang berjuang sungguhan harus menyingkir. Ketika satu orang lolos tes CPNS karena dokumen tipu-tipu, ada yang lain terpaksa gagal, meski IPK-nya real, dan perjuangannya nyata.
Ijazah palsu mungkin membawa keuntungan sesaat, tapi kehilangan integritas selamanya.
Dan integritas, sekali hilang, tidak bisa ditukar dengan uang, jabatan, atau kartu nama bersampul kulit buaya. Dia seperti kepercayaan pasangan—sekali dihancurkan, susah balik lagi.
Kadang kita terlalu sibuk mengoleksi gelar, tanpa sadar kehilangan makna. Pendidikan seharusnya jadi jalan untuk tumbuh, bukan cuma untuk numpang lewat demi dapat pekerjaan. Sejatinya, belajar bukan hanya soal menghafal teori, tapi tentang melatih kejujuran pada diri sendiri. Bukan hanya mencetak nilai, tapi membentuk nilai-nilai.
Mereka yang bersembunyi di balik ijazah palsu adalah para pemain drama satu babak—dan biasanya ceritanya berakhir tragis. Karena di dunia kerja, ijazah hanya membuka pintu. Tapi kemampuan dan integritaslah yang membuatmu tetap berada di dalam ruangan.
Jadi, buat yang merasa nyaman duduk di kursi hasil tipu-tipu, selamat pagi. Wajahmu seburuk perilakumu. Tapi tenang, masih ada waktu untuk berubah. Dunia ini sudah terlalu penat dengan orang-orang sok pintar. Yang kita butuhkan bukan yang pura-pura tahu, tapi yang mau belajar sungguhan.
Dan kalau pun kau masih ingin mengandalkan ijazah palsu untuk diakui, mungkin yang kau butuhkan bukan kertas itu—tapi pelukan, pengakuan, dan mungkin... terapi.
Karena pada akhirnya, dunia tidak diubah oleh gelar, tapi oleh karakter. Dan karakter tidak bisa dicetak di percetakan.
Wallahu a'lam bish shawab
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS