Dr.Ir.Armen Mara,M.Si, Dosen Universitas Jambi
Lemahnya ketahanan pangan Provinsi Jambi merupakan PR (Pekerjaan Rumah) bagi pemegang jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur pada periode berikutnya. Hal ini mengingat ketahanan pangan bukan hanya masalah kemanusiaan semata-mata melainkan masalah perekonomian, sosial, dan politik. Ketahanan pangan yang lemah akan berdampak pada masalah instabilitas ekonomi, instabilitas sosial, dan instabilitas politik.
Lemahnya ketahanan pangan Provinsi Jambi
Baca Juga: Romi - Mashuri - Adirozal Bertemu, Poros Lima Bupati Eksis Kembali ?
Menurut hasil kajian seorang peneliti, pada tahun 2018 Provinsi Jambi mengalami defisit beras sebesar 46.764 Ton (Budi Kurniawan, 2018). Kalau dikonversikan ke bulan maka Provinsi Jambi itu kekurangan beras lebih kurang 4 ton setiap bulannya. Kekurangan beras ini secara alami ditutupi oleh kegiatan perdagangan dari Sumatera Barat, Sumatera Selatan, dan Pulau Jawa.
Menurut Budi Kurniawan (2018) produksi beras pada tahun 2018 adalah sebesar 287.756 Ton sedangkan jumlah penduduk pada tahun yang sama adalah 3.570.272 jiwa. Diperkirakan konsumsi beras per kapita adalah sebesar 93,7 Kg per tahun sehingga konsumsi beras Provinsi Jambi pada tahun 2018 tersebut adalah 334.520 Ton.
Dengan demikian Provinsi Jambi pada tahun 2018 tersebut kekurangan beras sebesar 46.764 ton.
Baca Juga: Jelang Pilgub, Berulang Kali Romi Temui Haji Metar, Siapa Dia ?
Diperkirakan defisit beras setiap tahunnya akan terus bertambah mengingat jumlah penduduk Provinsi Jambi yang juga terus bertambah, yaitu sebesar 1,6% setiap tahunnya. Data BPS memperlihatkan bahwa luas panen padi tidak bertambah, bahkan malah berkurang karena adanya konversi lahan untuk penggunaan lain, seperti perumahan, pertokoan, sarana pendidikan, pembangunan jalan, dan alih fungsi lahan ke tanaman lain, terutama tanaman kelapa sawit.
Data BPS menunjukan bahwa luas panen padi pada tahun 2018 adalah 86.202,68 Ha, pada tahun 2021 menurun menjadi 64.412,26 Ha, dan pada tahun 2023 menurun lagi menjadi 61.378,11 Ha. Dengan demikian produksi padi pun menurun dari 383.045,74 ton pada tahun 2018 menjadi 274.557,09 ton pada tahun 2023.
Baca Juga: Elektabilitas Al Haris Tidak Tertandingi, Romi Hariyanto Membayangi
Untuk itu, diperkirakan defisit beras akan terus menurun untuk beberapa tahun ke depan.
Dengan semakin meningkatnya defisit beras di Provinsi Jambi mengakibatkan ketahanan pangan semakin terancam. Hal ini mengingat beras adalah makanan pokok dan makanan utama bagi penduduk, bahkan ada penduduk yang porsi beras dalam makanan mencapai 95%. Dengan demikian, macet nya perdagangan beras antar provinsi (misalnya akibat bencana alam) bisa menimbulkan kelaparan penduduk.
Kenaikan harga beras dan ciloteh emak-emak di perkotaan
Emak emak di perkotaan mengerti benar bahwa kalau harga beras mulai naik maka harga barang-barang lain akan ikut-ikutan naik.
Lalu emak-emak pun berciloteh “ini adalah akibat korupsi, akibat permainan pedagang, dan kolusi penguasa dan pedagang”. Ciloteh emak-emak tersebut mungkin ada kaitannya dengan pepatah kuno berikut: “ada beras rumah tangga aman, tak ada beras rumah tangga rawan”. Oleh karena itu, tak ada yang meragukan beras memegang peranan penting sebagai stabilisasi ekonomi, sosial, dan politik.
Secara makro, kenaikan harga beras akan berdampak pada kenaikan harga-harga barang lain, termasuk harga pangan lain, pakaian, obat-obat, dan transportasi sehingga perekonomian akan menjadi goyah. Jika harga-harga terus naik atau terjadi apa yang disebut dengan inflasi di luar kendali maka akan terjadi instabilitas ekonomi.
Akibat lanjutnya emak-emak harus memutar otaknya untuk menyusun kembali kombinasi barang-barang yang akan dibeli di pasar karena pendapatan (uang setoran suami tak bertambah) atau garis anggaran tidak bergeser naik.
Dalam rumah tangga beras harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang cukup. Bahkan seorang kepala rumah tangga petani pernah mengatakan “beras itu adalah pertahanan rumah tangga, kalau ada beras dapur berasap”. Dapur berasap itu adalah indicator ketahanan pangan. Akan lebih aman lagi kalau rumah tangga tidak membeli beras”.
Kalau harga beras naik dan harga barang-barang lain naik maka masyarakat pun heboh. Hal ini terlihat jelas di pasar tradisional, emak-emak pada ngoceh. Entah siapa yang di ocehkannya. Di sini kita menjadi sadar bahwa ternyata emak-emak pun mengerti politik.
Rendahnya harga beras dan petani banting setir
Lain reaksi emak-emak, lain pula reaksi petani di pedesaan.
Menghadapi rendahnya harga beras para petani di pedesan biasanya tidak berciloteh melainkan ambil ancang-ancang untuk banting setir. Lahan yang seharusnya ditanami padi sawah bisa saja mereka alihkan ke penggunaan lain, tentu saja berakibat pada kondisi jangka panjang. Lahan sawah yang sudah dialihkan ke tanaman lain akan sulit dikembalikan menjadi sawah.
Diperkirakan aksi banting setir ini terus terjadi setiap tahunya. Banyak pemberitaan bahwa alih fungsi lahan dari lahan sawah ke penggunaan lain memang sudah terjadi. Hal ini dibuktikan oleh fakta bahwa luas panen sawah yang terus berkurang setiap tahunnya sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2023.
Sebenarnya di pedesaan ada nilai-nilai budaya yang menjungjung tinggi produksi padi dari lahan sendiri. Secara tradisional para petani di pedesaan menanam padi pada lahan sawah untuk tujuan konsumsi sendiri. Menghasilkan padi dari lahan sendiri memberikan rasa keamanan pangan bagi penduduk pedesaan. Untuk itu, padi yang dihasilkan dari sawah sendiri tidak dijual melainkan disimpan pada lumbung padi yang secara tradisional disiapkan untuk menyimpan padi.
Sejak masuknya teknologi mesin penggilingan padi, tradisi mengamankan ketahanan pangan dengan menyimpan padi pada lumbung padi tersebut bergeser menjadi menjual langsung ke pedagang. Dalam hal ini posisi petani berubah dari produsen menjadi berstatus konsumen karena beras untuk kebutuhan rumah tangga dibeli ke pedagang. Artinya para petani sendiri juga sudah ikut-ikutan merasakan pahit nya harga beras dikendalikan oleh pedagang. Akhirnya emak-emak petani pun ikut menciloteh.
Emak-emak di perkotaan dan petani di pedesaan akan menunggu apa kebijakan yang akan dilakukan oleh Calon Gubernur Jambi jika terpilih dalam pemilihan Gubernur nanti. Kampanye adalah ajang untuk menyampaikan rencana kebijakan rendahnya ketahanan pangan sebagaimana disampaikan dalam tulisan ini.
Dengan demikian terjadinya alih fungsi lahan dari padi sawah ke tahanaman lain yang lebih komersil dan hilangnya lumbung padi rumah tangga telah menyebabkan ketahanan pangan rumah tangga menjadi lemah. Lemahnya ketahanan pangan ini tidak hanya dirasakan oleh emak-emak di perkotaan melainkan juga oleh emak-emak petani produsen itu sendiri di pedesaan. Samarinda 09.08.2024.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS