Oleh : Whynda Mulia H, Mahasiswi Ilmu Politik, Universitas Jambi
Dinamika geopolitik di Provinsi Jambi mencerminkan kompleksitas hubungan antara kekerabatan dan kekuasaan yang telah terjalin selama bertahun-tahun.
Baca Juga: Romi - Mashuri - Adirozal Bertemu, Poros Lima Bupati Eksis Kembali ?
Dalam konteks ini, kekerabatan politik di Jambi tidak hanya berfungsi sebagai jaringan sosial, tetapi juga sebagai alat strategis dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Kekerabatan politik di Jambi terwujud dalam dua kelompok utama yang saling bersaing: kelompok mantan Gubernur Zulkifli Nurdin dan kelompok Hasan Basri Agus (HBA).
Baca Juga: Jelang Pilgub, Berulang Kali Romi Temui Haji Metar, Siapa Dia ?
Zulkifli Nurdin, yang menjabat sebagai gubernur pada periode 1999-2010, membangun basis dukungan yang kuat melalui Partai Golkar dan kemudian Partai Amanat Nasional (PAN).
Setelah kepergiannya, pengaruhnya dilanjutkan oleh anaknya, Zumi Zola, yang terpilih menjadi gubernur pada 2016. Namun, karier politik Zumi Zola terhenti akibat kasus korupsi yang melibatkan dirinya.
Baca Juga: Elektabilitas Al Haris Tidak Tertandingi, Romi Hariyanto Membayangi
Sementara itu, HBA, yang menjabat gubernur dari 2010 hingga 2015, dikenal dengan program-program populis seperti "Satu Miliar Satu Kecamatan" untuk pengentasan kemiskinan.
Pengaruh HBA terus berlanjut melalui Al Haris, gubernur saat ini yang dianggap sebagai "anak angkat" HBA. Kemenangan Al Haris dalam Pilkada 2020 menunjukkan bahwa kekerabatan politik tetap menjadi faktor dominan dalam kontestasi politik di Jambi.
Persaingan antara dua kelompok ini menggambarkan dinamika kekuasaan yang tidak hanya bersifat kompetitif tetapi juga tak kompetitif. Meskipun terdapat banyak kandidat yang maju dalam Pilkada, mereka sering kali berasal dari latar belakang yang sama dan memiliki hubungan dekat dengan elite politik yang sudah ada. Hal ini menciptakan kesulitan bagi calon baru untuk memasuki arena politik.
Fenomena perpindahan partai politik juga menambah kompleksitas. Para politisi sering berpindah partai untuk mencari dukungan yang lebih besar. Misalnya, Al Haris berpindah dari Partai Golkar ke PAN menjelang Pilkada 2020.
Perpindahan ini mencerminkan lemahnya identifikasi partai di kalangan elite politik Jambi dan menunjukkan pragmatisme dalam strategi politik mereka.
Dinamika ini berdampak pada masyarakat Jambi secara keseluruhan. Ketidakpuasan terhadap calon yang ada dapat menyebabkan apatisme pemilih, sehingga jumlah partisipasi dalam pemilu menurun.
Selain itu, adanya sentimen kesukuan dan identitas daerah sering kali memengaruhi pilihan politik masyarakat. Masyarakat cenderung memilih kandidat yang memiliki kedekatan emosional atau kekerabatan dengan mereka.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa langkah perlu diambil:
1. Edukasi Politik: Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya keterlibatan dalam proses politik melalui program pendidikan dan sosialisasi.
2. Aksesibilitas: Memastikan bahwa semua warga negara memiliki akses yang baik ke tempat pemungutan suara dan informasi terkait pemilu.
3. Penguatan Keterlibatan Komunitas: Mengajak masyarakat untuk aktif terlibat dalam diskusi politik dan mendukung calon-calon baru yang mampu membawa perubahan.
4. Transparansi: Mendorong transparansi dalam proses pemilihan untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik.
Menggali dinamika geopolitik Jambi menunjukkan bahwa kekerabatan dan kekuasaan saling terkait erat dalam menentukan arah perkembangan daerah.
Untuk mencapai kesejahteraan yang lebih baik, penting bagi masyarakat Jambi untuk meningkatkan partisipasi mereka dalam proses politik dan mendukung calon-calon yang dapat mewakili aspirasi mereka tanpa terjebak dalam jaringan kekuasaan lama.
Dengan demikian, Jambi dapat bergerak menuju masa depan yang lebih inklusif dan sejahtera bagi seluruh warganya.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS