2.054 Izin Tambang Aktif Mengunyah Tubuh Sumatera, Wajar Kalau Banjir, Longsor Menghancur-leburkan Tanah Andalas ini...?

2.054 Izin Tambang Aktif Mengunyah Tubuh Sumatera, Wajar Kalau Banjir, Longsor Menghancur-leburkan Tanah Andalas ini...?

Reporter: Opini | Editor: Admin
2.054 Izin Tambang Aktif Mengunyah Tubuh Sumatera, Wajar Kalau Banjir, Longsor Menghancur-leburkan Tanah Andalas ini...?
Sebanyak 2.054 Izin Tambang Aktif Mengunyah Tubuh Sumatera ( dok Greenpeace)

Pergi ke hulu menangkap ikan.

Airnya keruh bekas galian

Baca Juga: Presiden Prabowo Tiba di Tapanuli Tengah, Pastikan Penanganan Cepat untuk Warga Terdampak Banjir

Pulau rusak bukan karena hujan

Tapi tanda tangan atas nama kebijakan

Baca Juga: Presiden Prabowo Pastikan Penanganan Infrastruktur Terdampak Banjir di Aceh Tenggara

Ke ladang pagi menanam kacang

Burung di dahan tak lagi riang

Baca Juga: Pemda Agam Dirikan Pos Lapangan  di 13 Kecamatan untuk Percepat Distribusi Logistik dan Penanganan Bencana

Hutan hilang bukan karena datang petang

Tapi digusur pelan oleh izin tambang

Kita lanjutkan Bencana Tanda Tangan di tanah Sumatera. Kali ini saya beberkan data kongkret izin tambang yang membuat Tanah Andalas hancur-lebur. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak

Uda uni bayangkan! Pulau sebesar 473 ribu kilometer persegi, rumahnya 60 juta jiwa, yang sekarang rasanya sudah naik ke panci raksasa, dijadikan lauk pauk bagi pesta pora industri ekstraktif. Inilah Sumatera. Bukan lagi pulau, tapi altar pengorbanan nasional edisi “disembelih perlahan sambil disetujui negara”.

Data resmi Kementerian ESDM per Desember 2025, bukan rumor, bukan karangan, ini dokumen negara, mencatat 2.054 izin tambang aktif yang sedang mengunyah tubuh Sumatera. Luas totalnya? 2,7 juta hektare. Kalau dibagi merata ke tujuh hari, rasanya tiap detik ada satu jengkal tanah yang berubah dari hijau jadi cokelat, dari rindang jadi berkawah, dari teduh jadi terkelupas. Hitungan kasarnya, 7.400 hektare per minggu berubah fungsi, dan kata mereka itu “kemajuan”.

Bangka Belitung? Sudah 452 izin. Pulau itu tak lagi berwajah pulau tropis, melainkan mirip wajah bulan yang dipahat pakai linggis. Kawah di mana-mana, lubang mirip sumur maut, dan sisa-sisa tanah yang sudah bukan tanah. Kepulauan Riau 349 izin, lautnya jadi sup bauksit cokelat, ikan sampai pindah ke Malaysia, minta paspor sementara. Sumatera Selatan 228 izin, Sumbar 208, Jambi 201, Sumut 178. Sisanya seperti kue ulang tahun, dipotong rata, tapi bukan pakai pisau, melainkan chainsaw hidrolik.

Hampir separuh lahan tambang itu menempel di kawasan hutan lindung, karst, dan hulu DAS yang seharusnya jadi organ vital, kantung air, paru-paru alami, pelindung nyawa. Tapi apa kata negara? “Sudahlah, hutan bisa ditanamin duit kok.” Jadilah air hujan menari liar, bukannya meresap, malah menggelincir ganas, membawa lumpur, bebatuan, dan nasib manusia yang kebetulan berdiri di jalurnya. Banjir di Palembang? Longsor di Padang Pariaman? Jangan bilang “alam marah” itu sebenarnya semacam invoice, tagihan dari alam ke manusia akibat kesalahan administrasi berpuluh tahun.

Yang bikin kepala bergemuruh, pemerintah masih rajin menerbitkan izin baru setiap bulan, seolah sedang main game koleksi lahan. Seolah Sumatera ini kanvas kosong yang bisa diremukkan menjadi deretan angka pendapatan negara, dengan nyawa rakyat sebagai footnote.

JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) sudah meraung dari lama. Cabut izin perusak, stop ekspansi di hulu sungai, kembalikan pengelolaan untuk masyarakat adat yang ribuan tahun sudah membuktikan diri sebagai penjaga hutan paling efektif. Tapi suara yang datang dari negara, “Tenang, kami reboisasi.” Reboisasi di mana? Di kawah sedalam 80 meter? Di kolam tailing yang bisa mematikan ikan hanya karena seekor gurami mengendus airnya?

Sekarang Sumatera sudah bukan lagi pulau, melainkan conveyor belt raksasa, mengirim batubara, timah, bauksit, nikel ke luar negeri. Sementara kita menerima balasannya berupa banjir, longsor, udara beracun, trauma anak-anak, dan sejarah hidup yang ditulis dengan lumpur. Royalti? Masuk sih, tapi cuma segenggam receh untuk negara, sementara rakyat bayar dengan kehidupan.

So, nanti kalau ada yang bertanya, “Kenapa banjir makin parah ya?” jawab saja dengan tenang,

“Karena kita izinkan satu pulau diubah jadi lubang galian raksasa, pakai stempel resmi kantor yang gajinya dibayar dari pajak rakyat.”

Sumatera sedang tidak mati, tetapi sedang dibunuh, perlahan, legal, sistematis. Pembunuhnya? Bukan sekadar perusahaan tambang, tapi tanda tangan.

Yang belum terjadi tinggal satu bab terakhir, kita semua menonton berita, dan sadar bahwa film horor berjudul Indonesia Tanpa Sumatera bukan lagi fiksi. (Rosadi Jamani (Ketua Satupena Kalbar)

 

 



IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya