Bundo Kanduang " Uni Ani" yang Mendunia itu Telah Tiada...

| Editor: Admin
Bundo Kanduang " Uni Ani" yang Mendunia itu Telah Tiada...


Catatan Haril Chaniago

Baca Juga: Negara Perlu Hadir Merawat Seniman





Tanggal 31 Oktober 2021 (WIB) atau 30 Oktober Waktu Amerika, saya diundang oleh Bu Ben Nurbaini McKosky sebagai pembicara dalam Webinar Bundo Kanduang Mancanegara. Nara sumber lain adalah Ambassador Denny Abdi, diplomat muda asal Minang dan alumni FE Unand yang kini menjabat Dubes RI di Vietnam dan sudah saya kenal sejak 2006 melalui sahabat lama saya Ambassador Al Busyra Basnur. Kontak saya dengan Bu Ben, Ketua Bundo Kanduang Mancanegara, adalah bekat Bung Denny juga.





Kebetulan yang menjadi moderator dalam Webinar tersebut adalah Soni Drestiana. Melalui Bu Ben, mantan dosen FMIPA Unand yang sudah lebih 35 tahun tinggal di Amerika, saya minta kontak Soni. Ketika kami berkomunikasi, saya sangat surprise ternyata Soni adalah putri dari Uda Yusaf Rahman dan Uni Ani (Syofyani Yusaf).

Baca Juga: Mengenang Senator  Prof. Dato’ Firdaus Abdullah, Namanya Harum dan Abadi di Negara Malaysia dan Negeri Minangkabau.





Da Cap (begitu saya memanggil Alm.) meninggal tahun 2005, sementara Uni Ani waktu itu, Alhamdulillah, masih sehat wal afiat menjelang usia 86 tahun. Ternyata Webinar BKM ini pesertanya tidak tertampung oleh  kapasitas zoom yang tersedia. Lebih surprise lagi Uni Ani ternyata ikut menjadi peserta Webinar, sehingga saya sempatkan menyapa beliau secara khusus. Dan kami sempat bertukar kata menanyakan keadaan masing-masing.





Uni Ani adalah salah satu bundo kanduang yang saya kagumi. Seperti saya sampaikan dalam Webinar itu, perempuan Minang memiliki ciri atau karakter khusus seperti ditulis oleh wartawan besar Alm Rosihan Anwar ketika menulis sosok Ani Idrus, wartawati hebat pendiri Harian Waspada Medan. Empat ciri khusus karakter perempuan Minang itu adalah (1) bagak alias pemberani, (2) mandiri, (3) punya rasa percaya diri yang tinggi, dan (4) istiqamah alias konsisten dan teguh dalam pendirian.





Karakter seperti itu juga ada pada Uni Ani (Syofyani Yusaf) dan pada umumnya bundo kanduang hebat seperti Ibu Nurhayati Subakat, Uni Shanti Soedarpo, termasuk yang memilih jalur kesenian seperti Uni Ani, Uni Elly Kasim, Hoerijah Adam, Gusmiati Suid, dan banyak lagi. Mereka fokus dan konsisten dengan keahlian dan dunia yang ditekuni.





Sejak saya masih remaja dan tinggal di Bukittinggi, sudah sering membaca koran yang memberitakan tentang Sanggar Tari Syofyani dan reputasinya yang sering tampil di mancanegara. Kalau saya lewat di Birugo, hampir tak pernah luput memandang ke sebuah rumah lama rancak yang di depannya terpasang merek "Sanggar Tari Syofyani".





Setelah saya pindah ke Padang, pernah tinggal di Perumnas Air Tawar pertengahan tahun 1980-an. Ternyata di dekat situ pula, persisnya di Jalan Nuri,  tinggal keluarga Da Cap dan Uni Ani, sekaligus menjadi sanggar tari mereka.





Akhir tahun 1980-an sampai 1990-an, saya sering berinteraksi, bertemu dan bicara berbagai hal dengan Uda Cap. Kebetulan saya lihat beliau dekat dengan Prof. Dr. Muchlis Muchtar yang waktu itu menjadi Dekan Fakultas Pertanian Unand yang juga sahabat senior saya. Oh ya, sekadar informasi, Uda Cap - seniman dan pentolan musik Minang itu - adalah tamatan sarjana muda Fakultas Pertanian Unand dan sebelumnya sekolah di SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas) Padang. Tapi akhirnya jadi pemusik legsndaris. Salah satu lagu ciptaannya yang masih sering didendangkan sampai kini adalah "Usah Diratok-i" yang diawali lirik "Anak Urang si Kubang Putiah..."





Kembali ke Uni Ani, setelah Webinar BKM yang saya ceritakan di atas, saya kembali berkomunikasi dengan seniwati tari yang telah melanglang buana ke puluhan negara di lima benua. Saya informasikan sedang menyusun buku "Ensiklopedia Tokoh Minang" di mana di dalam juga ada nama Syofyani Yusaf dan Yusaf Rahman. Saya tanya Uni Ani, bisakah saya dapat buku biografi Da Cap yang diedit Bang Nazif Basir (Alm, suami Almh. Uni Elly Kasim) yang saya belum punya.





Saya bersedia menjemput buku itu. Tetapi ternyata Ni Ani berkeras untuk mengirimkan saja via jasa kurif. Walhasil, tanggal 18 November 2021 buku itu sampai ke tangan saya. Di halaman awal buku itu Uni Ani membubuhkan kalimat persembahan dengan tulisan tangan beliau yang rancak. Belakangan saya dapat cerita dari Soni, untuk menyusun kata-kata tersebut Uni Ani bolak-bali berdiskusi dengan Soni. Sungguh mengharukan.





Ketika Jumat kemarin saya mendapat kabar Uni Ani wafat, kembali ke haribaan Sang Pencipta, cukup lama saya tak bisa berkata-kata. Walaupun tidak terlalu sering berinteraksi, seperti juga dengan Alm. Da Cap, tetapi kesan dan kenangannya sangat mendalam.





Selamat jalan Uni Ani. Art longa vita brevis. Seni itu panjang, hidup hanya singkat. Yakinlah, karya-karya Uni akan tetap abadi sepanjang masa.





Semoga dosa-dosa dan kesalahan Uni diampuni Allah SWT, dan semua amal ibadah, perbuatan baik, serta karya seni Uni akan mengantarkan ke Surga Jannatun Naim yang abadi.





Wikipedia menulis Sofyani Yusaf, lahir di BukittinggiSumatra Barat, 1936 adalah seorang seniman Indonesia dari Sumatra Barat. Ia bersama suaminya, Yusaf Rahman (alm.) merupakan pendiri Sofyani Dance and Music Ensemble Group pada tahun 1953. Ia dikenal sebagai penari pada masa mudanya, lalu kemudian menjadi penata tari (koreografer) setelah tidak memungkinkan lagi menari.





Sofyani belajar menari sejak berusia enam tahun dari kakek dan ayahnya yang memiliki grup randai dan juga seorang guru pencak silat di kota Bukittinggi, Sumatra Barat. Ia dilatih gerakan-gerakan tari piring yang juga mengandung gerakan silat oleh kakek dan ayahnya, selama dua jam dalam setiap latihan yang dilaksanakan dua kali dalam seminggu. Pada usia duabelas tahun, Sofyani mulai diajari oleh kakeknya menari piring di atas pecahan kaca yang berasal dari ratusan botol minuman yang dipecahkan lalu dibersihkan dan diletakkan diatas nyiru.





Setelah dewasa, Sofyani juga berkarier sebagai penata tari atau koreografer. Ia telah menciptakan 20 macam tarian Minangkabau, dan juga telah melakukan pertunjukan tari di dalam dan luar negeri, seperti di PakistanYunaniItaliaSpanyolAustraliaSwissBelandaKoreaJepangBrasilAmerika Serikat, serta seluruh negara ASEAN, dan lainnya.





Pada tahun 2012 ia dan Sanggar Tari Syofyani diundang ke Prancis untuk ikut berpartisipasi dalam Festival De Montoire, yang merupakan festival seni tahunan bergengsi di kota Montoire, Prancis, yang sudah berusia lebih dari 40 tahun. Masih di Prancis, dalam festival budaya terbesar di negara itu, anak-anak asuhannya juga mempertunjukkan tarian di festival folklore di kota Mentanon serta festival folklore ke-35 di kota Felletin.





Dalam pengabdiannya pada dunia seni tari sampai saat ini, Sofyani telah mendirikan sanggar tari di beberapa kota, yaitu di Bukittinggi, PadangJakarta, serta di Bandung, dan melatih tarian pada sekitar seratus orang murid pada sanggar-sanggar tersebut, serta telah mengajari ribuan murid sepanjang pengabdiannya di dunia seni tari.





Sofyani Yusaf menikah pada tahun 1965 dengan seorang lelaki bernama Yusaf Rahman (alm.), yang juga dikenal sebagai musisi dan seniman Minangkabau. Pernikahan mereka telah dikaruniai enam orang anak, yaitu Yosi, Yovi, Yosa, Soni, Sandra, dan Sofi Yuanita, serta enambelas orang cucu.

( Wartawan Senior dan Pengiat Kebudayaan Sumbar)


IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya