Ketika Taman Nasional Kerinci Seblat Menyisihkan Warga Adat : Menagih Keadilan bagi Masyarakat Hukum Adat Serampas

Ketika Taman Nasional Kerinci Seblat Menyisihkan Warga Adat : Menagih Keadilan bagi Masyarakat Hukum Adat Serampas

Reporter: Opini | Editor: Admin
Ketika Taman Nasional Kerinci Seblat Menyisihkan Warga Adat : Menagih Keadilan bagi Masyarakat Hukum Adat Serampas
Aditiarman (dok)

Oleh : Aditiarman (Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jambi)

Selama ratusan tahun, Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serampas hidup, bertani, berladang kopi, dan memelihara relasi kultural-lingkungan di kawasan pegunungan di Kabupaten Merangin yang kini telah dikenal sebagai Taman Nasional Kerinci Seblat ( TNKS).

Baca Juga: Jalur Pendakian Gunung Kerinci Masih Ditutup

Desa yang menjadi pusat eksistensi Serampas termasuk Renah Kemumu dan Tanjung Kasri menandai keberlanjutan praktik kearifan lokal yang menjaga tutupan hutan sambil memenuhi kebutuhan hidup Masyarakat Hukum Adatnya.

Namun, kronik penegasan kawasan konservasi dan upaya “pemantapan” serta pengukuhan kawasan hutan membawa konflik struktural: batas administratif taman nasional yang ditetapkan dalam Kongres Taman Nasional Dunia III (tahun 1982), kawasan yang menjadi TNKS dideklarasikan sebagai calon taman nasional seluas ±1,424,650 ha oleh Menteri Pertanian.

Baca Juga: Jenazah Penambang Emas Berhasil Dievakusi, Anggota Basarnas Belum Ditemukan

Selanjutnya, Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 192/Kpts-II/1996 menetapkan kawasan hutan senilai ±1,368,000 ha sebagai TNKS. Kemudian, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 901/Kpts-11/1999, seluas ±1,375,349,867 ha secara resmi ditetapkan sebagai TNKS. Bahkan pada tahun 2004 dilakukan perubahan fungsi kawasan hutan produksi seluas sekitar 14.160 ha menjadi bagian dari TNKS, sehingga total luas menjadi ±1,389,509,867 ha. Lebih lanjut, dipertegas oleh Pasal 53 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menempatkan sebagian besar wilayah adat Serampas dalam kategori kawasan konservasi negara (Agus & Aditiarman, 2025:28). 

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Agus & Aditiarman (2025) yang menemukan bahwa dalam proses penetapan tersebut, sebagian besar wilayah yang sebenarnya adalah bagian dari wilayah hak adat termasuk Masyarakat Hukum Adat (MHA) Serampas kini telah masuk dalam kawasan TNKS, seperti desa Tanjung Kasri dan Renah Kemumu sepenuhnya berada dalam kawasan TNKS. Sebagai konsekuensi, lahirlah ketentuan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang menyatakan larangan memasuki kawasan hutan tanpa izin dari instansi berwenang (Pasal 50 Ayat (3)), yang dalam praktiknya menegaskan bahwa keberadaan individu atau masyarakat yang berada di dalam kawasan hutan tanpa izin dianggap sebagai pelanggaran hukum kehutanan.

Akibatnya, warga yang secara turun-temurun menempati dan mengelola lahan itu dipaksa menyesuaikan diri dengan rezim tata kelola baru yang sering bermakna relokasi, pencabutan hak kelola, dan pembatasan praktik adat. 

Pasal 50 Ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menegaskan bahwa:
“Setiap orang dilarang : a) mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah ; b) merambah kawasan hutan; dan c) melakukan  penebangan  pohon  dalam  kawasan  hutan  dengan  radius  atau  jarak sampai dengan: 1) 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2) 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3) 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;4) 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5) 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan 6) 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.”
Isu ini bukan sekadar soal hak untuk hidup, melainkan soal legitimasi (pengakuan hukum), padahal dalam Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan bahwa mengakui Asas Hukum Adat atau tanah Hak Ulayat: 

“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-Undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Lebih lanjut, Pada tataran lokal ada upaya legislasi untuk mengakui MHA Serampas termasuk inisiatif Perda di Kabupaten Merangin sebagai jalan memitigasi konflik dan memberi dasar hukum bagi pengelolaan hutan berbasis komunitas. Sejalan dengan itu, Amanda, Budhiartie, dan Zulkarnain (2024) juga berpendapat bahwa Permasalahan pokok dalam penerapan hukum agraria terletak pada pengakuan serta perlindungan terhadap hak ulayat yang menjadi milik masyarakat adat. Pengakuan semacam itu membuka peluang bagi pengaturan enclave , zonasi tradisional, atau mekanisme co-management yang menjembatani kewajiban konservasi dengan hak atas tanah adat. Namun, pengakuan administratif tanpa akses nyata yang faktual di lapangan dan restorasi hak dapat menjadi semu. 

Berdasarkan data dan fakta lapangan dalam kajian akademik menunjukkan dua hal penting yang jarang diakui dalam wacana publik konservasi: pertama, masyarakat adat seperti Serampas bukan perusak hutan; mereka hanya menerapkan aturan adat dan praktik agroforestri yang mendukung keanekaragaman hayati yang telah berlangsung ratusan tahun secara turun temurun. Kedua, pendekatan perlindungan lingkungan yang mengutamakan pengucilan manusia (benteng konservasi) sering kali mengakibatkan perpindahan sosial dan membatasi kapasitas lokal untuk menjaga ekosistem (Agus dan Aditiarman, 2025).  

Oleh karena itu, menegakkan konservasi yang adil harus menyertakan keberadaban, pengakuan hak asasi manusia, partisipasi, dan kompensasi bagi masyarakat adat yang terdampak.

Dari perspektif keadilan transisional, langkah yang perlu ditempuh meliputi: (1) verifikasi spesial dan hukum atas klaim tanah hukum adat Serampas dengan melibatkan lembaga kerapatan adat dan melibatkan masyarakat setempat secara aktif dalam proses pembuatan peta wilayah mereka sendiri; (2) Pemerintah Daerah harus melakukan revisi terhadap Peraturan Daerah dalam rangka mengeluarkan yurisdiksi masyarakat Hukum Adat Serampas dari kawasan hutan TNKS; (3) membangun model pengelolaan bersama _(co-management)_ atau enclave yang legal sehingga komunitas dapat menegakkan aturan adat yang terbukti menjaga dan melestarikan hutan; dan (4) skema pemulihan termasuk restitusi lahan, kompensasi, atau dukungan pembangunan berkelanjutan bagi rumah tangga yang kehilangan mata pencaharian karena adanya batasan aktifitas Masyarakat terhadap hutan Negara (TNKS). Semua langkah ini harus ditempuh bukan hanya sebagai kebijakan prosedural, tetapi sebagai upaya memperbaiki “ketidakadilan” terhadap masyarakat Hukum Adat Serampas dengan mengutamakan “keberadaban”. 
_Das Sein_ dan _Das Sollen_ juga harus sensitif terhadap budaya yang _“Bhinneka Tunggal Ika”_ : pengakuan MHA Serampas bukan sekadar legalisasi peta yurisdiksi, tetapi pengakuan lintasan sejarah, spiritual, dan aturan hukum adat yang mengatur sanksi dan tata guna lahan. 

PENUTUP
Keadilan bukan sekadar soal kompensasi material; ia menuntut pengakuan moral dan hukum atas eksistensi sebuah adat dan tradisi yang hidup di masyarakat dengan beraneka warna. Menagih keadilan bagi Masyarakat Hukum Adat Serampas berarti menuntut agar kebijakan konservasi berhenti menjadi alat pengusiran dan mulai menjadi mekanisme perlindungan yang inklusif yang menggabungkan tujuan pelestarian keanekaragaman hayati dengan hak asasi masyarakat hukum adat untuk menentukan nasib wilayah leluhurnya selama ratusan tahun.

Negara, pengelola TNKS, akademisi, dan masyarakat sipil harus duduk sejajar dengan Masyarakat Hukum Adat Serampas bukan di atasnya untuk merancang solusi yang adil, berkelanjutan, berkeadaban, serta menghormati sejarah manusia dan lingkungan yang telah lama terjalin di wilayah itu.

REFERENSI:
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, 1999.
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 1960.
Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 192/Kpts-II/1996
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 901/Kpts-11/1999
Agus, dan Aditiarman. Mengenal Teori Hukum Komprehensif Integral. Sungai Penuh: Darbooks Media, 2025.
Nasywa Denada Amanda, Arrie Budhiartie, dan Iskandar Zulkarnain. “Implementasi dan Tantangan Hukum Agraria dalam Sistem Hukum Nasional: Analisis Komprehensif Terhadap Aspek Regulasi, Administrasi, dan Sosial-Ekonomi.” Intelletika: Jurnal Ilmiah Mahasiswa, 2024, 99–105. https://doi.org/https://doi.org/10.59841/intellektika.v2i6.1980.

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya