Catatan redaksi : Tulisan ini dimuat pada Kolom Resonansi Harian Republika, Rabu (6 Mei 2009). Empat belas tahun lalu. Penulisnya Asro Kamal Rokan.
Enak dibaca, bahasanya runtut. Isinya daging semua. Sangat relevan dengan kondisi politik Indonesia hari ini.
Baca Juga: Samardan Harahap Kembali Dipercaya Menjadi Ketua PD Muhammadiyah Kota Jambi Periode 2022 - 2027.
======================
Seorang teman dari Malaysia, yang baru saja bertugas di Jakarta, mengaku sulit memahami karakter politik Indonesia. Tokoh yang dahulu bermusuhan, tiba-tiba bersahabat. Dulu, bersahabat, tiba-tiba seperti bermusuhan. Tidak itu saja. Ia mengamati sejumlah partai berkoalisi bukan karena kesamaan platform, melainkan karena alasan sangat personal.
Baca Juga: Sisakan Sedikit Ruang Ketidakpercayaan Terhadap Politisi: Pentingnya Kritisisme dalam Politik
Kepada teman Malaysia itu, saya mengatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya memiliki tradisi politik yang hebat. Warisan masa lalu, yang pantas menjadi contoh bagi siapa pun: politik yang indah, beretika, dewasa, dan tanpa dendam.
Mohammad Natsir contoh dari keindahan etika berpolitik itu. Sebagai pemimpin Masyumi, partai yang kemudian dibubarkan Soekarno, Pak Natsir biasa berdebat sengit dengan DN Aidit, ketua PKI. Ideologi keduanya berlawanan. Setelah bersitegang mempertahankan prinsip, keduanya minum teh bersama. ''Sebagai tokoh Masyumi, saya biasa minum teh bersama
tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan kepada person,'' kata Pak Natsir kepada Editor, 23 Juli 1988.
Baca Juga: Pro - Kontra Tambang : Muhammadiyah Terbelah?
Orde Baru membebaskan Pak Natsir dari tahanan rezim Soekarno. Namun, Pak Natsir tidak mendapatkan kebebasan politik. Masyumi tetap juga dilarang. Bahkan, ulama dan cendekiawan santun itu dicekal Soeharto. Meski begitu, Pak Natsir tetap membantu Soeharto memulihkan hubungan dengan Malaysia, lewat suratnya kepada PM Malaysia, Tengku Abdurrahman.
Ketika pemerintah Soeharto kesulitan mendapatkan modal dari Jepang, Pak Natsir menulis surat kepada sahabatnya, Takeo Fukuda, perdana menteri Jepang saat itu. Atas saran Pak Natsir, Fukuda bersedia membantu Indonesia. "Beliau (Natsir) meyakinkan kami tentang masa depan
Indonesia," tulis Fukuda dalam surat belasungkawa atas wafatnya Pak Natsir, 1993.
Keindahan lain dapat diteladani dari Buya Hamka. Rezim Soekarno memenjarakan Buya Hamka tanpa proses pengadilan, pada 1964-1966. Hamka difitnah, dituduh pro-Malaysia. Sastrawan besar dan tokoh Masyumi ini tidak dendam pada Soekarno. Bahkan, Buya mengambil hikmahnya. Selama di penjara, ulama besar bersuara lembut ini justru berhasil menyelesaikan karya besar, Tafsir Al-Azhar.
Ketika Soekarno meninggal pada 21 Juni 1970, Buya Hamka berdiri di depan dan menjadi imam shalat jenazah Soekarno. ''Saya telah memaafkannya. Soekarno banyak jasanya,'' kata Buya ketika itu dengan suaranya yang lembut.
Kedua tokoh besar itu telah mewariskan etika dan keindahan berpolitik. Mereka berbeda pandangan dengan lawan politiknya, namun tidak membawa perbedaan tersebut ke wilayah pribadi, tidak menyimpan dendam, bahkan tetap membina silaturahim. Mereka merendahkan suara ketika berdebat keras. Mereka tidak menghujat dan merendahkan lawan politiknya.
Kedua tokoh tersebut mewariskan keindahan kepada kita. Warisan itu ibarat ribuan kuntum bunga di taman hati yang indah dan menyejukkan. Namun, ribuan kuntum bunga itu kita biarkan kering dan mati karena hati kita adalah tanah kering dan keras.
Bahkan, sekuntum bunga sekalipun tidak dapat tumbuh, kecuali perseteruan dan kebencian. *****
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS