Oleh : Buya Bahren Nurdin
Kata yang sangat mulia “Qodarullah” sering kali disalahgunakan atau dipahami secara dangkal oleh sebagian umat Islam masa kini. Secara singkat, mari kita lihat maknanya dengan penuh hormat.
“Qodarullah”:
Antara Tawakal dan Pasrah Buta
Baca Juga: DREAM COMES TRUE; 19 Tahun Perjuangan
Kata “Qodarullah”, yang seharusnya menjadi ungkapan ketundukan dan kesabaran terhadap takdir, kini sering digunakan untuk menutupi kelalaian atau kesalahan manusia sendiri.
Contoh:
Baca Juga: Memperkaya Muhammadiyah, Bukan Mencari Kekayaan di Muhammadiyah
“Mengapa proyeknya gagal?”
“Qodarullah, mungkin belum rezeki.”
Padahal, kalau ditelusuri, kegagalan itu bisa jadi karena manajemen yang buruk, perencanaan yang asal-asalan, atau kerja yang tidak maksimal.
Baca Juga: Rumus Kehidupan : Sudahi ( SenyUm, DiAm, Husnuzon, dan Ikhlaskan)
Lalu ketika hasilnya tidak baik, semuanya diserahkan kepada “takdir” — seolah-olah manusia tak punya peran apa-apa.
Padahal Islam mengajarkan keseimbangan antara ikhtiar (usaha) dan tawakal (berserah diri).
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Ikatlah untamu terlebih dahulu, kemudian bertawakkallah.”*
(HR. Tirmidzi)
Jadi sebelum menyebut kata "Qodarullah" seharusnya ada pertanyaan kritis: sudah berusaha maksimal belum? Sudah sesuai ilmunya belum? Serius gak mencari solusi atau melakukannya? dll.
Jadi janganlah berlindung dibalik "Qodarullah" untuk 'menyederhanakan' masalah.
Sering kita dengar, "Ya gimana lagi, qodarullah-nya begitu"
Semoga tidak menyinggung siap-siapa.
Salam hormat saya untuk semua.
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS