Oleh : Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
BU HESTI pedagang ayam geprek itu terlihat menatap wajan gosongnya, ketika pembeli mengomel harga ayam gepreknya harus naik karena harga ayam dan cabe di Jambi terus meroket. Potret ini semacam dilema pedagang ayam geprek di tengah inflasi pangan yang merangkak naik menjelang Natal dan Tahun Baru adalah cermin rapuhnya sistem pangan daerah.
Baca Juga: Cabai Ajaib dan Puja Puji Inflasi untuk Pak Gubernur
Ketika harga daging ayam, cabai rawit, cabai merah, minyak goreng, hingga gas melonjak bersamaan, pedagang kecil terpukul di titik paling sensitif, biaya produksi naik cepat, tetapi daya beli konsumen justru melemah. Ruang untuk menaikkan harga hampir tidak ada. Margin usaha menyusut, porsi terpaksa diperkecil, dan tidak sedikit usaha kecil yang memilih tutup sementara karena tidak sanggup menahan gejolak harga yang datang beruntun.
Fluktuasi ini bukan sekadar persepsi pedagang, tetapi didukung oleh data. Di Jambi, panel harga pangan mencatat pada 26 November 2025 harga daging ayam ras mencapai Rp41.000 per kilogram, naik tajam dari kisaran Rp37.143 per kilogram hanya dua minggu sebelumnya. Cabai rawit merah juga merangkak ke Rp52.500 per kilogram, sementara cabai merah besar bahkan sempat menembus Rp64.000 per kilogram.
Baca Juga: Karhutla Dan Pentingnya Pemanfaatan Data Tinggi Muka Air Tanah
Pada September 2025, cabai rawit pernah berada di level Rp46.818 per kilogram, menunjukkan betapa cepat dan ekstrem pergerakannya sepanjang tahun. Sebagai pembanding, harga ayam ras nasional yang dipublikasikan PIHPS berada di sekitar Rp40.300 per kilogram pada awal Desember, namun harga lokal di Jambi nyaris selalu lebih tinggi atau lebih volatil karena rantai pasok yang panjang dan ketergantungan pada pasokan dari luar daerah.
Siklus kenaikan harga pangan menjelang Nataru sebenarnya pola berulang yang telah dicatat BPS selama bertahun-tahun. Komoditas seperti ayam ras, cabai merah, dan telur selalu menjadi penyumbang inflasi terbesar di kuartal IV. Musim hujan mengganggu produksi, distribusi terganggu, dan permintaan meningkat — menciptakan “kombinasi sempurna” yang mendorong harga naik. Namun tekanan tahun 2025 lebih kuat karena harga pakan unggas global meningkat (FAO, Food Outlook Report 2025) dan biaya logistik dalam negeri membengkak sejak awal tahun.
Baca Juga: Pemilu Sistem Proporsional Tertutup atau Terbuka?
Dalam kondisi seperti ini, intervensi pemerintah terlihat lemah dan tidak menyentuh struktur persoalan. Operasi pasar yang digelar Kementerian Perdagangan dan Dinas Ketahanan Pangan Jambi hanyalah langkah sesaat — sering menurunkan harga di titik tertentu, tetapi tidak menurunkan harga beli pedagang kecil di tingkat pemasok.
Kerangka kebijakan stabilisasi harga melalui Perpres 125/2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah sejatinya sudah tersedia, namun implementasinya di banyak daerah, termasuk Jambi, masih minim. Cadangan pangan daerah tidak memadai, koordinasi antarinstansi longgar, dan pengawasan rantai pasok belum berjalan.
Program ketahanan pangan Provinsi Jambi pun masih jauh dari memadai. Data Dinas Peternakan menunjukkan bahwa produksi unggas lokal hanya mampu memenuhi sekitar 65–70% kebutuhan konsumsi. Ketergantungan tinggi pada pasokan dari Sumatera Selatan dan Lampung membuat harga di Jambi sangat rentan. Gangguan sedikit saja di wilayah pemasok langsung memicu kenaikan harga di Jambi.
Hal serupa berlaku pada hortikultura, komoditas cabai dan sayuran sangat rentan fluktuasi karena minimnya cold storage, lemahnya teknologi pascapanen, serta keterbatasan investasi pada produksi lokal.
Di titik hilir, pedagang ayam geprek adalah korban paling awal dari rapuhnya sistem ini. Mereka tidak punya daya tawar terhadap distributor, tidak bisa membeli dalam volume besar, dan tidak dilindungi oleh kebijakan stabilisasi harga.
Ketika harga ayam berubah 10–15% dalam hitungan minggu dan cabai menembus Rp60.000 per kilogram, pedagang hanya bisa mengurangi porsi, menurunkan kualitas sambal, atau menaikkan harga sedikit demi bertahan. Banyak yang akhirnya memilih tutup sementara. Padahal UMKM kuliner seperti ayam geprek adalah penyerap tenaga kerja informal yang besar dan menyediakan makanan terjangkau bagi masyarakat urban.
Dari seluruh rangkaian data dan dinamika yang terjadi sepanjang 2025, terlihat bahwa inflasi pangan bukan sekadar isu makro, tetapi persoalan langsung yang mengancam keberlangsungan hidup pedagang kecil. Tanpa kebijakan yang kuat dan berkelanjutan — penguatan produksi lokal, pembangunan cadangan pangan daerah, pembenahan logistik, dan intervensi harga yang menyentuh UMKM — siklus kenaikan harga jelang Nataru akan terus berulang.
Pemerintah perlu berhenti bersikap reaktif dan mulai membangun fondasi ketahanan pangan yang sesungguhnya, agar pedagang kecil tidak terus menjadi korban pertama dari kebijakan yang dangkal dan tidak menyentuh akar masalah. ***
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS