Oleh: Dr. Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi
OPTIMISME tentang Pelabuhan Peti Kemas Muaro Jambi, sebuah rencana yang di awal sudah keluar jalur memaknai multiplier effect itu sendiri. Banyak pihak menyamakan pembangunan infrastruktur fisik dengan penciptaan efek ganda ekonomi. Padahal multiplier effect tidak hadir hanya karena ada bangunan pelabuhan berdiri.
Baca Juga: Ssssst... Ini Saran Pengamat Agar Haris Bisa Kalahkan Romi
Multiplier effect hadir ketika pelabuhan itu benar-benar digunakan secara intensif, ketika throughput memadai, ketika aktivitas perdagangan ekspor–impor dan domestik kontainer berulang setiap hari, dan ketika seluruh ekosistem logistik melihat pelabuhan itu sebagai pilihan yang paling efisien dari sisi biaya, kecepatan, dan reliabilitas.
Dalam hal ini pelabuhan hanya platform, sedangkan efek ganda adalah konsekuensi dari transaksi riil yang terjadi di atas platform itu. Ini hasil awal yang harus ditegaskan sejak awal, karena potensi bukan hasil, prasyarat bukan outcome.
Baca Juga: Pelindo Jambi Bersama KSOP Talang Duku Peringati Hari Sumpah Pemuda ke-96
Pada sisi lain, faktor pasar juga tidak bisa dikesampingkan. Struktur logistik komoditas utama Jambi seperti sawit, karet, batubara, dan mineral sudah terikat ekosistem pelabuhan, kontrak shipping tertentu, dan preferensi biaya.
Corporate decision tidak berubah hanya karena pernyataan optimistis dari pihak yang harus optimis, seperti kaum pendengung pemerintah. Mereka pindah pelabuhan hanya kalau total cost per ton turun dan reliabilitas supply chain meningkat. Itulah sebabnya pelabuhan baru tidak akan otomatis memindahkan arus barang tanpa penurunan biaya logistik yang terbukti, bukan sekadar diandaikan.
Baca Juga: Gelar Pahlawan Nasional untuk Pak Harto
Belum lagi faktor teknis yang menjadi prasyarat pokok. Sungai Batanghari memiliki problem sedimentasi. Akses jalan hinterland masih belum sepenuhnya terintegrasi. Integrasi multimoda, termasuk opsi kereta, belum hadir.
Ini bukan detail teknis yang bisa dianggap minor; ini adalah faktor yang menentukan apakah cost structure menjadi kompetitif atau tidak. Tanpa integrasi supply chain dari hulu – pabrik, kebun, tambang – sampai terminal kontainer, maka pelabuhan hanya menjadi titik bongkar-muat lokal, bukan pusat efisiensi logistik.
Dan akhirnya, pemerintah daerah harus jujur pada realitas governance. Banyak PSN di Indonesia gagal mencapai target multiplier karena governance lemah, koordinasi antar instansi lambat, dan biaya transaksi tinggi. Menyebut “asal dikelola profesional maka akan besar” justru menunjukkan bahwa inti persoalan belum dikuasai: yang paling sulit dari proyek besar bukan membangun fisiknya, tetapi menyusun sistem pengelolaan yang mampu menjaga efisiensi jangka panjang, disiplin tarif, disiplin throughput, dan disiplin layanan.
Maka posisi rasional hari ini sangat jelas, pelabuhan peti kemas Muaro Jambi adalah tahap awal. Bukan tahap efek. Bukan tahap dampak. Ia baru membuka pintu kemungkinan, namun efek gandanya baru akan nyata ketika kapasitas terisi, biaya logistik turun secara terukur, dan pasar memindahkan rute kontainer ke sana karena alasan ekonomi, bukan alasan politis atau seremonial.
Karena selama tiga bukti itu, baik, utilisasi, efisiensi, migrasi pasar belum hadir, maka klaim multiplier effect masih berada di ruang harapan, bukan ruang realisasi ekonomi. Ini standar berpikir ekonomi pembangunan yang sehat, pisahkan prasyarat dari hasil. Jangan menyamakan potensi dengan bukti. Karena multiplier effect bukan klaim, melainkan output empiris dari perilaku pasar yang mengalir stabil. Ini sumber logika yang harus kembali ditegakkan, agar pembicaraan pembangunan pelabuhan tidak terjebak dalam euforia tanpa dasar. ***
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS