Pertanyaan ini membutuhkan analisa mendalam dan kejujuran untuk menjawabnya.
Kondisi saat ini banyak UPTD milik pemerintah daerah yang terlalu gemuk jumlah pegawainya dan biaya rutin tinggi sementara pendapatan pas-pasan. Agar hal itu tidak terjadi pada unit usaha yang mengelola insinerator, Pemprov Jambi disarankan selektif menentukan bentuk badan pengelolanya. Sebagai pertimbangan, usaha sejenis di Jawa Barat dikelola oleh BUMD Jasa Medivest dengan pendapatan yang menggiurkan, bahkan kini telah menambah dua unit mesin insineratornya. Insinerator di NTB dikelola perusahaan swasta dengan pola bagi hasil.
Baca Juga: Kampung Mantap Lingkungan Hidup, Strategi Asnelly Selamatkan Sungai
Selain sumber cuan, insinerator ini memiliki nilai kemaslahatan yang tinggi bagi masyarakat luas dan efisiensi anggaran APBD. Nilai kemaslahatan yang saya maksudkan di sini adalah semakin minimal resiko penyebaran bakteri dan virus dari sumber fasilitas kesehatan (sisa operasi, obat dan bahan kimia kadaluarsa dll) sebab tidak diangkut lagi ke luar daerah yang memiliki fasilitas pembakar limbah. Jika Jambi sudah punya mesin insinerator, tentu LB3 tidak perlu menempuh jarak jauh untuk dimusnahkan. Kejadian seperti limbah dibuang ke semak-semak, jurang atau badan air dapat ditekan.
Efisiensi anggaran APBD memungkinkan bila dana yang dialokasikan oleh setiap Rumah Sakit, puskesmas, dan klinik pemerintah untuk membayar jasa pihak ketiga (perusahaan pengumpul dan pengangkut LB3) kembali masuk ke APBD Provinsi Jambi alias dibayarkan ke unit pengolah limbah medis di Desa Senamat ini. Dijamin puluhan miliar uang APBD dapat dihemat dan puluhan miliar lagi uang baru masuk dari faskes milik swasta yang menggunakan pelayanan insinerator milik daerah ****
Baca Juga: Kampung Mantap, Program Al Haris Selamatkan Sungai Batanghari
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS