Pemaksaan Politik Dinasti Jokowi  Hancurkan Demokrasi Rasional

Pemaksaan Politik Dinasti Jokowi  Hancurkan Demokrasi Rasional

Reporter: BS | Editor: Admin
Pemaksaan Politik Dinasti Jokowi  Hancurkan Demokrasi Rasional
Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor || Foto : Dok BRIN

KABAR18.COM - Peneliti senior dari Badan Riset dan Inovasi Nasional ( BRIN) Firman Noor menilai krisis konstitusi yang terjadi saat ini akan membawa dampak serius pada kehidupan demokrasi ke depan. Politik dinasti untuk melanggengkan orang dalam keluarga Presiden Joko Widodo potensial akan menghancurkan iklim demokrasi rasional di Indonesia.

Hal itu terkait dengan Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini yang tengah disorot atas Putusan MK 90/PUU-XXI/2023 lantaran dinilai sarat dengan nepotisme. Presiden Joko Widodo disebut punya andil dalam putusan tersebut. 

Baca Juga: Aktivis '98 Sumatera Barat,  Desak Wakil Ketua MK, Saldi Isra Mundur : Ijan Waang Dicatat Sejarah Ikuik  Konspirasi Legitimasi kolusi dan Nepotisme

Ditambah lagi salah satu hakim konstitusi, Anwar Usman, memiliki hubungan kerabat dengan Jokowi. Sehingga muncul penilaian putusan itu untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024.

Firman Noor mengungkapkan dampak mengerikan dari kondisi saat ini ketika dibiarkan berlarut adalah hancurnya demokrasi rasional. “Ya hancurnya demokrasi rasional,” tegas Firman Noor saat dihubungi pada Selasa (7/11/2023).

Baca Juga: Selamat Ginting : Sikap Keprihatinan Akademisi Pada Pemerintahan Jokowi Karena Telah Menyelewengkan Kekuasaan, Hukum dan Demokrasi di Indonesia

Menurutnya, demokrasi dibangun berlandaskan rasionalitas, bukan ikatan kekeluargaan atau keturunan. “Kalau seseorang secara rasional dari sisi pengalaman lebih banyak, kemampuan lebih baik, lebih teruji itu harus. Kalau dari anak kemarin sore simply (hanya karena) punya DNA yang sama dengan penguasa, itu demokrasi apa? Saya tidak mengerti itu,” jelasnya.

Menurut dia, yang terjadi di Indonesia adalah politik dinasti. Para elite hanya bekerja atas dasar kepentingan mereka sendiri, tanpa mempertimbangkan pilihan masyarakat banyak, tanpa mempertimbangkan kehidupan politik di masa depan.

“Yang terjadi saat ini adalah ada proses yang nir-partisipasi dalam penentuan pengkandidasian orang-orang yang berhak maju atau tidak. Penentunya di sini, sayangnya adalah ikatan keluarga. Porsi ikatan keluarga lebih besar, bukan pertimbangan yang lain-lain,” katanya.

Sebelumnya, profesor Politik Islam Global asal Australia, Greg Barton mengatakan langkah Jokowi melakukan segala cara untuk meloloskan anaknya sebagai Cawapres sebagai tindakan yang terburu-buru. 

"Sayang sekali dia (Jokowi) mau campur tangan dalam urusan keluarga. Kalau bisa lebih sabar, pasti orang tidak keberatan kalau anaknya dikasih dan disiapkan untuk masa depan. Tapi, ini seolah terlalu terburu-buru," tegas Greg dalam podcast yang dipandu Akbar Faizal.

Sementara itu, Pengamat Politik Adi Prayitno mengatakan, meski ditinggal kawan lama, namun sikap Presiden Jokowi jelas.  “Bagi Jokowi pasti jalan terus. Semua sudah terjadi. Gibran sudah daftar ke KPU berdampingan dengan Prabowo Subianto. Bagi Jokowi tak ada lagi melihat ke belakang,“ kata Adi.****

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya