Terapi " cuci otak" dengan demikian menjadi salah satu dari banyak terapi pengobatan di Indonesia yang eksis, meski pun belum berbasis bukti ilmiah (EBM) sebagaimana dipatokkan oleh dunia kedokteran.
Realitas ini agaknya menjadi tantangan tersendiri bagi komunitas dokter. Masih validkah saat ini urgensi metode EBM di dunia kedokteran?
Baca Juga: Wakapolda Jambi Gelar Pertemuan Bersama Pengurus IDI Jambi
Pertanyaan itu jelas menantang
topik disertasi Dokter Finekeri, yang masih berkukuh bahwa semua pengobatan wajib berbasis bukti ( EBM).
Maka, bisa dimaklumi jika ada perhatian cukup besar terhadap Sidang Promosi Dokter Finekri. Sejumlah tokoh pendidikan dan guru besar kedokteran hadir.
Menurut Panitia, ada 11 profesor yang datang. Delapan gurubesar berasal dari FKUI, dan 1 dari FK UKI. Di antara profesor yang hadir, terlihat Prof. AM Hendropriyono, gurubesar Filsafat Intelijen, pengacara senior Prof. Dr. Otto Cornelis Kaligis, S.H., M.Hum., LL.M.
Delapan gurubesar FKUI: Prof. Dr. dr. Ari Fahrial Syam, Sp. PD, KGEH, Dekan FKUI, Prof. Dr. dr. Sukman T. Putra, Sp.A (K), FACC, FESC - Guru Besar Ilmu Kesehatan Anak, Prof. Dr. dr. Nur Rasyid, Sp.U (K). Guru Besar dan Ketua Tim Transplantasi Ginjal, Prof. Dr. dr. Wachyu Hadisaputra, Sp.OG-KFER, spesialis Kebidanan Kandungan, Prof. Rino Alvani Gani Sp.OD KGEH, Sekretaris Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PADDI), Prof. Dr. Dr Mulyadi M. Djer, Sp A (K), Prof DR dr Hanifah Oeswari, gurubesar IlmunKesehatan Anak, dan Prof DR. dr. Budi Iman Santoso Sp. O.G, Dokter Obstetri dan Ginekologi FKUI.
Selain itu, tampak hadir juga Ketua Umum PB IDI DR M. Adib Khumaidi dan sejawatnya dari MKEK IDI. Juga, Kepala RSAD Letjen Prof. Dr. Dr dr Buri Sulistya Sp.TH
Perlunya Perlindungan Terhadap Pasien
Di Sidang Terbuka, Promovendus, yang mantan Direktur Pengembangan dan Riset RSPAD dan kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Unhan RI (Universitas Pertahanan RI) itu, menjelaskan poin-poin penting berkaitan dengan tujuan dan manfaat yang disasar oleh penelitian disertasinya.
Promovendus menyatakan, tujuan penelitiannya adalah untuk menganalisis perlindungan hukum dan konstruksi perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti ( EBM).
Selain itu, juga untuk mengkaji dan menelaah upaya pemerintah dalam melakukan pencegahan terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).
Promovendus kemudian menguraikan tiga bagian hasil penelitiannya. Yakni :
Pertama: "Perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti ( EBM)."
Kedua: " Konstruksi perlindungan hukum terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti ( EBM)."
Ketiga: "Upaya pemerintah dalam melakukah pencegahan terhadap pasien dari pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti ( EBM).
Dari ketiga unsur yang terkait dengan pengobatan berbasis bukti, yaitu, dokter, pasien dan pemerintah, maka, Promovendus menilai posisi paling lemah adalah pasien.
Hubungan antara dokter dan pasien, misalnya. Keduanya adalah subyek hukum yang terkait dengan hukum kedokteran. Keduanya membentuk hubungan medik dan hukum. Dalam pelaksanaan hubungan diatur oleh peraturan-peraturan tertentu. Dokter memiliki keahlian di bidang kedokteran. Sedangkan, pasien adalah orang sakit yang membutuhkan bantuan dokter. Karena itu mereka mempercayakan diri sepenuhnya kepada dokter untuk disembuhkan.
Hubungan keduanya berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hal medik, jelas hubungan ini tidak seimbang. Terlihat adanya superioritas dokter terhadap pasien. Secara biomedis ada kegiatan dokter (aktif) sedangkan pasien hanya menerima (pasif). Jadi, dasar dari hubungan dokter dan pasien adalah atas dasar kepercayaan. Pasien percaya atas kemampuan dokter untuk berusaha semaksimal mungkin menyembuhkan penyakitnya.
Tanggung Jawab Dokter dan Pemerintah
Menilik posisi hubungan yang tidak seimbang antara dokter dan pasien itu, maka para dokter diharapkan lebih bertanggung jawab atas pengobatan yang dilakukannya kepada pasien.
Promovendus menegaskan bahwa setiap tindakan dokter yang merugikan pasien dalam pelayanan kesehatan karena kelalaian atau kurang kehati-hatian dokter dalam melakukan tindakan yang merugikan pasien, dapat diminta pertanggung jawaban. Baik secara pidana mau pun perdata.
Pemerintah mempunyai peran yang sangat penting terhadap perlindungan pasien sebagai konsumen dari pelaku pengobatan yang belum mempunyai EBM. Dan menjadi tugas pemerintah (pusat dan daerah) bersama Konsil Kedokteran Indonedia dan organisasi profesi untuk membina serta mengawasi praktik kedokteran oleh pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).
Jika menemukan terjadi pelanggaran dalam pengobatan yang tidak berbasis bukti, pemerintah wajib melaporkannya kepada penyidik Polri sesuai ketentuan perundangan. Dan merujuk pasal 1 ayat 188 ayat 1, UU NO 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Kementerian pun dapat melakukan tindakan administratif terhadap pelaku pengobatan yang belum berbasis bukti (EBM).
Dokter Finekri menyusun disertasi disertasinya dibimbing oleh promotor Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H, MM, Direktur Program Pasca Sarjana Unkversitas Borobudur selaku ketua dan Dr. Suparno, S.H, anggota.
Tampil sebagai penguji, selain rektor Universitas Borobudur, adalah dua penguji eksternal/ luar institusi. Yakni, Ketua MPR Dr Bambang Soesatyo dan Prof Dr. Ade Saptomo, S.H, M.Si. Sedangkan penguji dari dalam institusi adalah Dr. Ahmad Redi, S.H, M.H. Setelah berlangsung sekitar dua jam, Sidang Terbuka itu diskors. Ini untuk memberi kesempatan Tim Penguji memberikan penilaian.
Tak lama, Rektor Prof. Ir Bambang Bernanthos mengumumkan Promovendus dinyatakan lulus dengan predikat: Sangat Memuaskan. Nilai yudisiumnya: 3,91. Dokter Sutan Finekri Arifin Abidin menjadi Doktor ke-195 yang diluluskan Universitas Borobudur, Jakarta.
Usai Sidang Terbuka, Doktor Sutan Finekri menyatakan kelegaan dan kepuasannya. Sebab, disertasinya terkait perlu perlindungan hukum bagi pasien telah diaksep dan dihargai para Penguji.
"Memang perlindungan pasien sudah menjadi obsesi dan aspirasi saya untuk terus diperjuangkan. "Sebab, semua kita ini suatu saat akan menjadi pasien," ujarnya.****
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS