Simalakama Larangan Thrifting: Industri Tekstil Selamat, Pasar Gelap Bisa Tumbuh Subur

Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Nevi Zuairina, menegaskan bahwa larangan impor pakaian bekas memiliki dasar hukum yang kuat

Reporter: Sumber | Editor: Ulun Nazmi
Simalakama Larangan Thrifting: Industri Tekstil Selamat, Pasar Gelap Bisa Tumbuh Subur
Calon pembeli melihat pakaian bekas yang dijual di Pasar Senen || Dok Istimewa

KABAR18.COMAnggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PKS, Nevi Zuairina, menegaskan bahwa larangan impor pakaian bekas memiliki dasar hukum yang kuat. Regulasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2021 juncto Permendag Nomor 40 Tahun 2022, yang mengatur barang impor yang dilarang atau dibatasi peredarannya.

Menurut Nevi, sektor tekstil dan pakaian jadi (TPT) memegang peranan penting dalam perekonomian nasional, baik dalam penyerapan tenaga kerja maupun kontribusi terhadap ekspor Indonesia.

Baca Juga: Waspada! BMKG Prediksi Hujan Lebat Guyur Jambi Hingga 2 November 2025

“Data dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menunjukkan bahwa pada kuartal I 2024, subsektor tekstil tumbuh sebesar 5,90 persen (yoy) dan subsektor pakaian jadi tumbuh 2,64 persen (yoy), didorong oleh peningkatan permintaan ekspor,” ujar Nevi, Minggu.

Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor tekstil dan produk tekstil pada Februari 2025 mencapai US$1,02 miliar, naik 1,41 persen dibanding Januari 2025. Namun, di balik capaian positif tersebut, industri tekstil masih menghadapi tekanan struktural, salah satunya akibat maraknya impor pakaian bekas (thrifting) di pasar domestik.

Baca Juga: OJK Perkuat Pelindungan Konsumen di Era Digital, Tekan Kejahatan Keuangan dan Scam Online

Dampak Negatif Thrifting

Nevi menjelaskan bahwa dari sudut pandang industri dalam negeri, banjir pakaian bekas impor menimbulkan sejumlah efek negatif yang saling berkaitan.

Baca Juga: Hasto Singgung Urgensi Kereta Cepat, Sebut PDIP Sudah Tiga Kali Ingatkan Jokowi

Pertama, pakaian bekas dengan harga murah yang beredar di pasar informal menjadi substitusi langsung produk lokal.

“Hal ini memunculkan risiko penurunan kapasitas produksi, bahkan PHK massal di industri,” tegasnya.

Kedua, dampaknya menjalar ke rantai hulu industri tekstil. Penurunan pesanan produk pakaian jadi berimbas pada turunnya permintaan bahan baku seperti benang, serat, dan kain dari produsen dalam negeri.
“Contohnya, produsen garmen rumahan di Jakarta mengeluhkan turunnya pesanan jelang Idul Fitri akibat membanjirnya pakaian bekas impor berharga murah,” ungkap Nevi.

Ketiga, secara jangka panjang, dominasi barang bekas impor dapat menghambat pembangunan merek nasional yang kompetitif di pasar global. Fenomena ini, lanjut Nevi, bisa menjadi dilema yang “menyakiti identitas dan brand khas Indonesia”.

Potensi Munculnya Pasar Gelap

Meski demikian, Nevi mengingatkan bahwa kebijakan pelarangan impor pakaian bekas tidak bisa dipandang hitam putih.

“Di balik niat baik melindungi industri lokal, ada konsekuensi sosial dan ekonomi yang harus dipertimbangkan,” ujarnya.

Larangan ini berpotensi membuat masyarakat berpenghasilan rendah kehilangan akses terhadap pakaian murah, serta memukul pedagang kecil dan pelaku usaha informal yang bergantung pada bisnis thrifting.

Lebih jauh, kebijakan tanpa perencanaan matang justru dapat memunculkan pasar gelap dan jalur impor ilegal, yang membuat pengawasan semakin sulit dan menambah beban lingkungan akibat limbah tekstil yang tidak terkelola.

“Oleh karenanya, pelarangan total impor pakaian bekas memang bisa membantu industri lokal, namun tetap harus disertai pengaturan terintegrasi dengan kebijakan sirkularitas dan manajemen limbah tekstil,” pungkas Nevi.

Sumber: (inilah.com)

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya