Dari Ajang Musda XI Golkar Jambi, di Balik Aklamasi dan Aspirasi

Dari Ajang Musda XI Golkar Jambi, di Balik Aklamasi dan Aspirasi

Reporter: Opini | Editor: Ulun Nazmi
Dari Ajang Musda XI Golkar Jambi, di Balik Aklamasi dan Aspirasi
Doddi Irawan Jurnalis Senior || Dok Pri

Penulis: Doddi Irawan | Jurnalis tinggal di Jambi

SELAMA sepuluh tahun terakhir, Partai Golkar di Jambi punya cerita politik yang tidak bisa dibilang biasa-biasa saja. Dinamikanya kencang, konsolidasinya jalan, hasil elektoralnya lumayan bikin orang angkat alis. Di tengah persaingan politik yang makin ramai, Golkar tetap eksis, bahkan makin kuat.

Baca Juga: Karhutla Dan Pentingnya Pemanfaatan Data Tinggi Muka Air Tanah

Puncaknya, di Pilkada Serentak 2024, Golkar menang di 7 dari 11 kabupaten/kota, plus kursi Gubernur juga dibawa pulang. Target nasionalnya sih 60%, tapi Jambi malah tembus 64%. Artinya, mesin partai lagi on fire dan publik masih percaya.

Kalau mundur ke Pemilu 2019, Golkar juga jadi jawara suara di Jambi, dapet sekitar 20,17%. Jadi bisa dibilang, mereka berhasil jaga basis pemilih, meski banyak partai baru bermunculan.

Baca Juga: Pemilu Sistem Proporsional Tertutup atau Terbuka?

Salah satu tokoh sentral di balik stabilitas ini, ya Cek Endra, Ketua DPD I Golkar Jambi. Gaya kepemimpinannya yang merangkul bikin banyak kader di daerah nyaman dan loyal. 

Menjelang Musda XI 2025, namanya makin kuat. Bahkan bakal terpilih aklamasi, pertanda soliditas internal masih terjaga.

Baca Juga: OJK Raih Opini WTP dari BPK RI untuk Laporan Keuangan OJK Tahun 2022

Tapi, menang besar bukan berarti tanpa PR. Golkar harus bisa wujudkan janji kampanye, terutama soal infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan. Regenerasi kader juga penting, apalagi sekarang isu digitalisasi dan partisipasi anak muda makin relevan.

Golkar tidak boleh terlena sama euforia. Kemenangan itu bukan garis finish, tapi titik start buat kerja nyata. Publik ingin lihat bukti, bukan cuma angka elektabilitas.

Nah, di balik semua pencapaian itu, ada juga sisi yang bikin mikir. Beberapa tahun belakangan, muncul suara-suara soal kaderisasi yang mandek dan penghargaan terhadap prestasi kader yang kurang. 

Banyak yang bilang, Golkar lebih condong ke kepentingan elite daripada meritokrasi. Contohnya, waktu Pilgub Jambi 2024. 

Saniatul Lativa, kader Golkar yang punya rekam jejak bagus, maju bareng Romi Hariyanto. Tapi Golkar malah dukung petahana, Al Haris–Abdullah Sani. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa kader sendiri tidak dikasih panggung?

Alasannya sih soal survei dan kesinambungan pembangunan. Tapi tetap saja, kesannya prestasi kader bukan faktor utama.

Hal serupa juga terjadi di Pilwako Jambi 2024. Budi Setiawan, Ketua DPD II Golkar Kota Jambi, awalnya digadang-gadang jadi calon kuat. 

Budi sudah berpasangan dengan Eko Setiawan, didukung PPP, PSI, dan Gelora. Tapi Golkar pusat malah kasih rekomendasi ke Maulana dan Diza. 

Kader dan simpatisan kecewa berat, sampai ada yang bakar atribut partai.

Padahal, Budi itu tokoh yang bawa Golkar dapet 8 kursi DPRD Kota Jambi —rekor dalam 20 tahun terakhir. Tapi, karena tidak dapat SK dari pusat, dia gagal maju. 

Dampaknya? Peta politik Pilwako Jambi berubah, loyalitas kader goyah, dan potensi konflik internal makin besar.

Di sisi lain, Musda XI Golkar Jambi 2025 makin menunjukkan dominasi Cek Endra. Dia maju lagi, dan hampir dipastikan terpilih aklamasi. 

Agus Rubiyanto, juga kader senior Golkar di Jambi, awalnya mau maju, namun akhirnya mundur karena diminta bergabung ke DPP oleh Bahlil Lahadalia, sang ketua umum.

Fenomena ini bikin orang mikir, apakah jalur karier kader ditentukan prestasi atau lobi elite? Kalau Golkar mau tetap relevan, terutama di mata pemilih muda dan kritis, penghargaan terhadap prestasi harus jadi prioritas.

Musda XI jadi momen penting. Cek Endra dinyatakan satu-satunya calon yang lolos syarat. Ia dapat 12 dari 17 suara sah. Dukungan datang dari mayoritas DPD II, organisasi sayap, dan ormas pendiri. 

Tapi tetap saja, minimnya kompetisi sehat membuat banyak pihak bertanya-tanya.

“Penarikan” Agus Rubiyanto dari pencalonan atas permintaan pusat, makin memperkuat kesan demokrasi internal partai lebih dikendalikan elite daripada suara akar rumput.

Meski Cek Endra punya rekam jejak dan gaya kepemimpinan merangkul, aklamasi ini bisa bikin kader muda merasa tidak punya ruang buat bersaing. 

Kalau terus begini, semangat partisipasi politik bisa turun, terutama dari generasi muda yang menginginkan transparansi dan kompetisi sehat.

Keputusan Golkar tidak mengusung kader internal, seperti Saniatul dan Budi di Pilkada 2024, bikin gejolak di akar rumput. Kalau pola ini berlanjut, Golkar bisa kehilangan basis loyal dan dukungan bisa terfragmentasi.

Sekarang, Cek Endra dan Agus Rubiyanto sama-sama ada di orbit DPP. Ada peluang Jambi dapet perhatian lebih dari pusat. Tapi, jangan sampai aspirasi lokal dikorbankan demi kepentingan elite.

Golkar Jambi pasca Musda XI ada di titik persimpangan, mau lanjut stabilitas atau terjebak stagnasi? 

Kalau Cek Endra bisa membuka ruang buat kader muda, hargai prestasi lokal, responsif terhadap dinamika politik, Golkar bisa tetap jadi kekuatan dominan. 

Tapi, kalau tidak, partai ini bisa kehilangan relevansi di mata pemilih yang makin kritis dan progresif. ***

IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Kabar Lainnya

Kabar Lainnya