Oleh : Noviardi Ferzi | Pengamat Ekonomi dan Sosial
INVESTASI tidak boleh mengancam ruang kehidupan masyarakat, prinsip ini yang tertinggal ketika Pemerintah Kota dan Pemerintah Provinsi melakukan mediasi terkait permasalahan SAS bersama warga yang diduga terdampak, penyelesaiannya dinilai belum menyentuh akar permasalahan.
Baca Juga: Batubara Merajalela, Pengamat Sebut Jambi Terancam Kehilangan Keseimbangan Ekonomi
Banyak pihak yang mengingatkan bahwa keberadaan regulasi, termasuk UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan UU Cipta Kerja, tidak otomatis menjadi jaminan perlindungan masyarakat jika penerapannya di lapangan masih lemah.
Pendekatan normatif yang semata-mata mengandalkan regulasi justru bisa menimbulkan persepsi seolah-olah persoalan sudah selesai. Padahal, dalam praktiknya, perlindungan masyarakat bergantung pada pengawasan, keterlibatan publik, dan komitmen pemerintah daerah dalam menegakkan aturan tanpa kompromi.
Baca Juga: PT SAS Kantongi Izin TUKS
Dalam hal ini regulasi itu hanya kerangka, bukan jaminan. Yang menentukan adalah bagaimana pemerintah mengawasi dan memastikan dampak sosialnya tidak merugikan masyarakat. Kalau fungsi pengawasan lemah, potensi ketidakadilan atau ketidakadilan tetap bisa terjadi.
Penilaian ini sejalan dengan kajian politik ekonomi oleh Hadiz & Robison (2020) yang menunjukkan bahwa keberadaan aturan formal tidak selalu sebanding dengan praktik perlindungan substantif. Dominasi kepentingan ekonomi tertentu di daerah sering bergesernya prioritas ke kepentingan masyarakat, bahkan ketika undang-undang dirancang sangat progresif.
Baca Juga: Warga Mendalo Darat dan Mendalo Laut Lakukan Aksi Tolak Stockfile Batubara
Mediasi yang dilakukan pemerintah pun dinilai belum bersifat final jika tidak disertai mekanisme tindak lanjut yang transparan. UNDP (2021) mencatat bahwa mediasi konflik sosial hanya efektif jika diikuti pemantauan, evaluasi terukur, dan jaminan bahwa hak masyarakat benar-benar terpenuhi. Tanpa itu, mediasi hanya menjadi proses administratif tanpa dampak jangka panjang.
Di sisi lain, penyederhanaan perizinan melalui OSS berbasis risiko yang digagas UU Cipta Kerja menimbulkan kekhawatiran tersendiri. Dalam publikasi Jurnal Hukum Ius Quia Iustum (2022), percepatan perizinan kerap mengurangi kedalaman analisis risiko sosial dan lingkungan, sehingga masyarakat bisa berada dalam posisi paling rentan ketika terjadi perubahan tata ruang, akses lahan, ataupun potensi eksternalitas lainnya.
Pemangkasan prosedur itu baik untuk investasi, tetapi tidak boleh mengorbankan prinsip kehati-hatian. Jangan sampai kecepatan administrasi justru mengabaikan keselamatan sosial.
Sementara itu, narasi bahwa investasi selalu meningkatkan lapangan kerja dan kesejahteraan warga lokal juga dibahas. Bank Dunia (2020) dalam laporannya menegaskan bahwa manfaat investasi tidak dirasakan secara merata, terutama jika pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas tata kelola yang kuat. Dalam banyak kasus, investasi hanya menciptakan “enclave economy” yang menguntungkan segelintir pihak.
Masalah lingkungan juga tidak bisa diabaikan. Kajian KLHK (2023) menunjukkan bahwa sejumlah proyek investasi di daerah masih menimbulkan tekanan ekologis akibat lemahnya penegakan hukum dan kurangnya pengawasan. Padahal, UU Penanaman Modal jelas mendorong asas berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dengan berbagai temuan tersebut, masyarakat mengingatkan bahwa keberadaan undang-undang tidak dapat dijadikan dalih untuk menyatakan persoalan SAS sudah tuntas. Justru, dinamika ini menjadi pengingat bahwa implementasi regulasi sangat menentukan apakah investasi benar-benar memberikan manfaat inklusif atau malah meninggalkan masalah.
Bagi masyarakat terdampak, harapan utama kini bukan sekadar mediasi, tetapi kepastian bahwa pemerintah benar-benar hadir untuk memastikan perlindungan, transparansi, dan pengawasan ketat. Tanpa itu, regulasi yang tampak kuat di atas kertas tidak akan cukup menyelamatkan. ***
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS